Kamis, 29 Januari 2009

Ritual-Upacara Kematian

Pada seluruh masyarakat didunia dan terlebih khusus di daerah Papua, terdapat berbagai macam adat-istiadat tertentu yang harus dijalani dalam kehidupan sehari-hari dari setiap masyarakat. Didalam setiap kehidupan manusia selalu terdapat saat-saat yang penting yang harus dihadapi dan dijalani secara bertahap dari masa lalu ke masa yang akan di hadapinya, yaitu sejak seseorang itu lahir, menjalani masa anak-anak, remaja, dewasa dan masa tuanya. Dalam setiap tahap-tahap ini, ada berbagai macam adat-istiadat tertentu yang harus dijalaninya, seperti upacara-upacara inisiasi dan sebagainya, karena adanya kepercayaan-kepercayaan bahwa ada berbagai macam tantanagan dan bahaya yang akan ditemui saat menjalani dan memasuki setiap tahap kehidupan. Untuk menolak bahaya-bahaya tersebut maka manusia menciptakan usaha untuk menyelamatkan diri dari bahaya-bahaya tersebut seperti upacara-upacara (ritual ), baik yang dilakukan bersama maupun sendiri.

Seperti dengan suku-suku bangsa lain didunia dan di Papua, pada umumnya, pada orang Dani juga menjalani proses lingkaran hidup individu (individual life cycle), namun tidak sama halnya dengan masyarakat/suku bangsa lain, yang melakukan ritual-ritual khusus, sejak seorang anak berada dalam kandungan ibunya, kelahirannya, masa anak-anak, dewasa, kawin, beranak sampai meninggal.

Seorang wanita Dani akan melahirkan anaknya dalam ebe ae, yang dibantu oleh beberapa orang wanita. Kelahiran bayi ini tidak disertai upacara/ritual khusus dan ari-ari serta tali pusar yang terlepas beberapa hari akan dihanyutkan dalam sungai begitu saja. Dan beberapa hari setelah proses kelahiran, wanita tersebut sudah bisa kembali untuk bekerja. Mereka juga tidak melakukan upacara dalam pemberian nama, nama yang mereka anggap baik, itulah yang akan menjadi nama dari anak tersebut. Setelah seorang anak berusia 2-3 tahun, jika dia seorang wanita, ia sudah harus mulai menggunakan rok jerami (sale), sedangkan untuk anak pria, dia baru memakai alat penutup alat kelamin pada usia 5-6 tahun.

Pada suku Dani, mereka mengenal satu peristiwa yang sangant penting dalam kehidupan anak pria Dani yaitu upacara Waya hagat-abin, yaitu suatu upacara Inisiasi, upaacara ini dilakukan ketika seorang anak berusia antara 5-10 tahun. Upacara inisiasi ini biasanya diadakan bersamaan dengan pesta ebe-ako atau pesta babi. Dan upacara ini biasanyan berlangsung selama 9 hari atau lebih. Acara-acara dalam upacara orang Dani, biasanya ditujukan untuk menyalakan semangat berperang dan untuk memberi pengertian mengenai berperang kepada anak-anak pria, yaitu misalnya upacara pemberian busur panah secara perlambang, adanya latihan perang-perangan, latihan ketabahan, pelajaran menari dan menyanyi nyanyian perang kepada anak-anak. Upacara ini lebih bertujuan untuk mengajarkan kepada anak-anak pria secara dini untuk hidup dalam masyarakat, yang berkisar sekitar perang, hidup berdisiplin, menahan diri dan belajar menderita dalam keadaan yang sulit.

Sedangkan untuk anak-anak wanita, mereka tidak menjalani upacara Waya-hagat abin, tetapi mereka menjalani upacara dalam pesta hotale, yaitu pada waktu ia mendapat haid pertama (eket-web).
Selain upacara-upacara tersebut diatas, ada juga upacara perkawinan (yokal isin) yaitu upacara memakaikan pakaian untuk wanita yang sudah menikah dan yang teakhir adalah upacara kematian.


Upacara/Ritual Kematian


Peristiwa yang paling terakhir dalam suatu lingkaran hidup yaitu kematian, yang merupakan peristiwa sedih yang dinyatakan dalam upacara berkabung. Pada orang Kapauku di daerah danau Paniai, jenazah orang Dani akan dibakar.

Pada upacara pembakaran jenzah, tubuh orang yang meninggal dihias dan didudukkan diatas suatu singgasana ( bea). Upacara ini dilakukan disuatu lapangan dipusat perkampungan. Para kerabat dan orang-orang yang datang untuk melayat akan duduk mengelilingi bea dan menangis sekeras-kerasnya. Tubuh para wanita dilumuri dengan lumpur putih tanda berkabung dengan nyanyian-nyanyian kematian dan ratapan. Dan pada siang harinya beberapa orang dukun melakukan upacara memotong satu ruas jari dari tiap anggota keluarga inti orang yang meninggal dengan menggunakan kapak batu tetapi ada juga yang menggunakan bambu. Dan luka dari pemotongan itu akan di balut dengan sejenis daun. Jerit tangis dari anak-anak yang menjalani pemotongan jari ini, akan menghilang diantara orang-orang yang sedang melayat. Biasanya jari-jari yang dipotong, bukan hanya sekali saja, tetapi tergantung berapa banyak kerabat terdekat yang meninggal, mereka akan melakukan lagi ritual pemotongan jari. Bahkan sampai jari mereka habis. Dan apabila jari-jari mereka telah dipotong habis, mereka akan memotong lagi sebagian dari telingan mereka.

Setelah itu, mereka akan melakukan upacara pembakaran jenazah dan para kerabat orang yang meninggal membakar daging babi di dalam lubang-lubang yang mereka gali di dalam tanah dan sebagian akan disajikan untuk ruh ( ame), orang yang meninggal. Sore harinya daging yang telah masak itu dimakan bersama dan menjelang senja semua perhiasan yang dikenakan pada jenazah diambil dan tubuh jenazah itu digosok dengan minyak babi. Setelah itu dimulai pembakaran jenazah, yang diiringi dengan jerit tangis orang-orang yang datang melayat.

















Kesimpulan



Setelah kita melihat satu kajian yang telah ditulis oleh Prof.Koenjaraningrat, dalam tulisannya “ KONFEDERASI PERANG DAN PEMIMPIN DALAM MASYARAKAT DANI”, yaitu tentang upacara/ritual kematian pada masyarakat suku Dani, dapat disimpulkan bahwa ritual pemotongan jari-jari, melumuri tubuh mereka dengan Lumpur dan mengiris kuping ini dapat digolongkan ke dalam analisis berbagai simbol dalam suatu masyarakat atau antropologi simbolik.

Dengan menggunakan analisis simbol, dapat kita lihat bahwa pemikiran Koenjaraningrat hampir sama dengan analisis simbol dari Turner.Dalam hal ini, fokus analisis diarahkan pada bagian pemotongan ruas-ruas jari, dimana hal ini ditunjukkan sebagai tradisi atau ungkapan berkabung yang sedalam-dalamnya dan juga demi adat-istiadat yang harus mereka jalani.

Namun sejak masuknya para penginjil Nasrani atau misi zending, maka perlahan-lahan adat tersebut mulai dikikis/dihilangkan. Para penginjil yang masuk dan mulai mengembangkan ajarannya sehingga ada pertukaran kebudayaan antara adat tradisi memotong jari, mengiris telinga dan melumuri tubuh dengan lumpur atau mengurangi beban kerja perempuan Wamena dengan konstruksi yang lebih modern dan lebih beradab. Dan dalam hal perjodohan, perempuan Wamena yang dihargai sama dengan seekor babi juga mulai dihilangkan.
Dari contoh kajian yang dapat dilihat diatas, dapat juga disimpulkan bahwa, seorang perempuan Wamena pada zaman dulu, seolah-olah mempunyai kedudukan yang paling rendah yang oleh Gayatri Spivak disebut dengan Subaltern artinya perempuan-perempuan yang terjajah oleh adat-istiadat mereka. Yaitu seperti dalam ritual pemotongan jari, pengirirsan telinga, melumuri tubuh dengan Lumpur, sebagai tradisi berkabung, dan yang harus menjalani semua itu adalah seorang perempuan. Belum lagi dalam mengurusi rumah tangga, seperti memasak, mengurus anak, mengurus kebun, mengurus babi, semuanya dilakukan oleh perempuan. Karena bagi mereka bila urusan rumah tangga dibantu/dikerjakan oleh suami, adalah merupakan suatu hal yang tabu dan tidak menghormati suaminya. Hal inilah yang dikatakan oleh Spivak, bahwa perempuan itu mengalami kekerasan epistemis dan terjajah baik secara eksternal maupun internal. Oleh karena itu Spivak ingin mengupayakan emansipasi yang terbentuk pascakolonialis tersebut dalam sebuah homogenitas identitas cultural, kolektif dan satu suara agar mereka kaum perempuan bisa mewakili sendiri dirinya. Begitu juga dengan Trinh Minh-ha mengupayakan perempuan untuk bisa melihat dirinya melalui kacamatanya sendiri dan tidak melalui kacamata patriarkhi. Minh dengan alasan itu ingin menghadapkan perempuan pada realita yang sebenarnya, membangunkan perempuan dari tidurnya agar dapat mensejajarkan mereka dengan dunia pertama.

Simbol-simbol berduka seperti contoh kajian tersebut, dapat juga kita lihat pada orang Biak dan Serui, yaitu perempuan-perempuan yang suaminya meninggal, mereka akan mencukur habis rambutnya sampai botak, yang dalam bahasa/istilah Biak disebut “Sipref bukor” . Sedangkan simbol berduka pada orang Asmat yaitu dengan melumuri tubuhnya dengan lumpur dan membiarkannya selama berhari-hari.

Demikianlah satu contoh kajian yang telah dijelaskan, yaitu mengenai ritual-ritual kematian yang digolongakan kedalam antropologi simbolik.

Dikutip dari :
Prof Dr Koentjaraningrat, Membangun Masyarakat Majemuk